Syarat menjadi calon bupati dan calon gubernur

Pemerintah bersama DPR RI, termasuk utusan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, menghasilkan berbagai kesepakatan dalam menyiapkan "payung hukum" penyelenggaraan Pilkada serentak. Kesepakatan itu antara lain soal kedudukan KPU dan Bawaslu serta persyaratan bagi calon gunernur dan bupati/wali kota untuk mencalonkan diri dalam rangkaian pelaksanaan Pilkada serentak di Indonesia. 

Rincian kesepakatan itu antara lain adalah penguatan pendelegasian tugas kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah.
Sementara untuk syarat pendidikan calon gubernur dan bupati/wali kota yakni minimal SLTA atau sederajat sama seperti syarat calon presiden atau anggota DPR/DPD/DPRD, minimal usia calon gubernur adalah 30 tahun, sedangkan untuk calon bupati/wali kota minimal 25 tahun.
Soal uji publik juga disepakati untuk ditiadakan dan diganti dengan sosialisasi calon kepala daerah.
Selain itu syarat dukungan penduduk untuk calon perseorangan atau calon independen dinaikkan. Untuk provinsi dengan jumlah penduduk kurang dari dua juta jiwa maka dukungan minimal 10 persen, untuk provinsi berpenduduk dua hingga enam juta jiwa maka dukungan minimal 8,5 persen. Untuk provinsi berpenduduk enam hingga 12 juta jiwa maka dukungan minimal 7,5 persen, serta untuk provinsi berpenduduk lebih dari 12 juta jiwa maka dukungan minimal 6,5 persen.
Sedangkan, untuk calon bupati/wali kota dari jalur independen atau perseorangan pada kabupaten dengan jumlah penduduk kurang dari 250.000 jiwa maka dukungan minimal 10 persen, untuk kabupaten berpenduduk 250.000 hingga 500.000 jiwa maka dukungan minimal 8,5 persen.
Kemudian, untuk kabupaten berpenduduk 500.000 hingga satu juta jiwa maka dukungan minimal 7,5 persen, serta untuk provinsi berpenduduk lebih dari satu juta jiwa maka dukungan minimal 6,5 persen.
Persyaratan dukungan untuk calon kepala dan calon wakil kepala daerah daerah melalui jalur perseorangan tersebut lebih tinggi 3,5 persen dibandingkan dengan persyaratan pada Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang hanya sebesar tiga persen.
“Kenaikan persyaratan ini adalah upaya konsolidasi demokrasi secara terus menerus, efisiensi, dan untuk menjamin pemilihan kepala daerah hanya berlangsung satu putaran,” tuturnya.
Sementara persyaratan calon dari partai politik atau gabungan partai politik juga naik dari ambang batas 15 persen kursi DPRD menjadi 20 persen kursi DPRD atau 20 persen suara menjadi 25 persen suara di daerahnya masing-masing.
Pembiayaan Pilkada
Kesepakatan lainnya pemerintah dan DPR adalah pembiayaan Pilkada dari APBD dengan dukungan didukung APBN.
Pilkada serentak juga dipastikan berlangsung hanya satu putaran karena ambang batas kemenangan 0 persen atau tidak ada ada angka atau persentase ambang batas minimal, sehingga berapapun jumlah suara yang diperoleh asalkan lebih tinggi dari calon lainnya maka sudah bisa ditentukan pemenangnya.
Bila terjadi sengketa Pilkada, disepakati bahwa sengketa hasil Pilkada ditangani oleh Mahkamah Konstitusi (MK) selama masa transisi sebelum dibentuk Badan Peradilan Khusus. Sementara RUU ini mengamanahkan perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan, diperiksa dan diadili di MK.
Sementara bila terjadi sengketa pada tahap penetapan pasangan calon (misalnya terjadi antara calon kepala daerah dengan KPU dalam hal calon kepala daerah tidak lulus persyaratan administrasi yang ditetapkan KPU) dilaksanakan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN), setelah melewati upaya administratif di Bawaslu tingkat provinsi maupun di Panwaslu di tingkat kabupaten dan kota.
“Keputusan PTTUN ini bersifat final dan mengikat,” tukas Lukman Edy.
Norma itu berubah dibanding dengan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang masih membuka peluang banding kasasi sampai Mahkamah Agung.
Powered by Blogger.