Pakailah Kondom dari Getah Lateks Tidak Berpori-pori

TPGImages


MER-C: Kondom Tak Bisa Cegah Penularan HIV.” Ini judul berita di www.metrotvnews.com (3/12-2010). Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) Indonesia merekomendasikan pencegahan dan pemberantasan HIV/AIDS tanpa membagikan produk kondom kepada masyarakat. Pendapat itu dikemukakan Ketua Presidium MER-C, Sarbini Abdul Murad.
Dalam penanggulangan HIV/AIDS kondom disosialisasikan sebagai alat mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah. Sosialisasi kondom dalam kaitan penanggulangan epidemi HIV bukan membagi-bagikan kondom.
Sebagai alat kontrasepsi kondom menampung air mani yang mengandung sperma. Jika air mani mengandung HIV (dalam sperma tidak ada HIV) tertampung di dalam kndom ketika terjadi ejakulasi, maka HIV tetap berada di dalam kondom. Dalam berita disebutkan: “Menyesatkan kalau kondom bisa mencegah HIV/AIDS.”
Tapi, berita yang tidak ditulis secara berimbang ini justru menyesatkan karena menyebutkan: “Kondom tidak bisa mencegah penularan virus itu karena ukuran pori kondom adalah 1/60 mikron jauh lebih besar dari virus HIV/AIDS yang hanya berukuran 1/250 mikron.” Wartawan yang menulis berita ini tidak mencari data dan fakta lain tentang kondom sehingga tidak objekti dan tidak pula akurat.
Kondom yang berpori adalah kondom yang terbuat dari usus binatang. Kondom ini tidak ada di Indonesia. Kondom yang dijual dan dipasarkan di Indonesia adalah kondom yang terbuat dari getah lateks. Kondom yang terbuat dari getah lateks tidak berpori-pori. Kondom berpori dan kondom bocor adalah isu yang menyesatkan.
Di bagian lain disebutkan bahwa MER-C menawarkan penanggulangan AIDS dengan cara ‘mengisolasi penderita HIV/AIDS yang tidak bisa mengendalikan perilakunya (narkoba dan seks bebas) sehingga mengancam orang lain tertular, disertai dengan terapi pengobatan yang benar.’
Fakta menunjukkan orang-orang yang sudah terdeteksi HIV melalui tes HIV yang sesuai dengan standar operasi yang baku sudah berjanji akan menghentikan penyebaran HIV mulai dari dirinya.
Penggunaan ’seks bebas’ juga tidak akurat karena istilah ini ngawur bin ngaco. Kalau ’seks bebas’ diartikan sebagai zina maka sama sekali tidak ada kaitan langsung antara ’seks bebas’ dengan penularan HIV. Sebagai virus HIV bisa menular melalui hubungan seksual di dalam nikah (tidak zina) dan di luar nikah (zina) jika salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seksual dilakukan dengan zina (’seks bebas’).
Mengisolasi orang-orang yang sudah terdeteksi HIV merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM). Orang lain bisa melindungi diri secara aktif agar tidak tertular HIV yaitu dengan tidak melakukan perilaku berisiko.
Lagi pula dalam epidemi HIV yang menjadi persoalan besar bukan orang-orang yang sudah terdeteksi HIV, tapi orang-orang yang sudah mengidap HIV tapi tidak terdeteksi. Orang-orang ini, kalau laki-laki bisa sebagai suami, pacar, selingkuhan, PIL, dll. menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal tanpa mereka sadari. Ini bisa terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV.
Rekomendasi lain MER-C adalah: ‘ …. melakukan screening massal tes HIV/AIDS, khususnya pada pasangan calon pengantin.’ Ini langkah yang sia-sia. Menggantang asap. Soalnya, tes HIV bukan vaksin. Artinya, kalau tes sebelum menikah hasilnya HIV-negatif maka itu tidak berarti sepanjang hidupnya akan HIV-negatif. Lagi pula tes HIV pada masa jendela (tertular di bawah tiga bulan) hasilnya bisa negatif palsu (HIV sudah ada di dalam darah tapi tidak terdeteksi) atau positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi hasil tes reaktif). Bayangkan, hasil tes HIV seorang calon suami negatif. Ternyata contoh darah calon pengantin itu pada masa jendela.
Melakukan tes HIV secara massal merupakan tindakan gegabah karena menyamaratakan perilaku semua orang. Yang perlu dilakukan adalah menganjurkan orang-orang, terutama laki-laki, yang pernah atau sering melakukan perilaku seksual berisiko menjalani tes HIV secara sukarela.
Perilaku seksual berisiko tertular HV adalah melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti seperti pekerja seks (PSK) langsung (PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran), PSK tidak langsung (’cewek bar’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, WIL, perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, waria pekerja seks, dll.) serta pelaku kawin-cerai.
Nah, apakah MER-C bisa menjamin semua laki-laki penduduk Indonesia tidak akan pernah melakukan perilaku seksual berisiko di dalam dan di luar negeri?
Kalau jawabannya YA, maka tidak ada persoalan HIV di Indonesia. Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka ada persoalan besar yang dihadapi Indonesia terkait dengan penyebaran HIV di masyarakat.
Pilihan ada di tangan kita: mengabaikan perilaku seksual penduduk dengan mengenyahkan kondom atau menawarkan kondom bagi yang melakukan hubungan seksual berisiko. ***

No comments

PILIH PLATFORM KOMENTAR DENGAN MENG-KLIK

Powered by Blogger.