Manusia Purba ala Penari Jepang
Aksi kelompok "Gejindan" itu mengawali penampilan mereka di sanggar Geoks, Singapadu, Gianyar, Minggu (3/9) malam. Sepintas aksi yang sulit dilihat sebagai sebuah tarian. Tapi ritme gerakan selama sekitar 10 menit itu membuatnya enak dinikmati. Keindahan gerak tak terpaku pada kehalusan dan kelembutan. Tetapi juga pada gerakan yang cepat, kasar dan penuh dengan kekuatan. Kontras kemudian diperlihatkan ketika mereka mempertontonkan adegan memadu kasih.
Gejindan sendiri berarti adalah manusia purba. Menurut salah-satu pendiri kelompok ini Yoshio Baba, mereka berusaha untuk melihat kenyataan yang ada saat ini dalam pandangan masa lalu. "Kami prihatin karena seperti di Jepang, manusia kelihatan lebih lemah dan dimanjakan oleh teknologi," ujarnya. Dia menilai, manusia modern jauh dari alam dan bahkan tidak mengenal diri sendiri.
Drama tari yang ditampilkan dalam 9 bagian itu mengungkapkan pendapat mereka. Seperti dalam scene ketiga dimana kota Tokyo digambarkan sebagai padang pasir yang gersang. Orang-orang berjalan cepat ke berbagai arah. Mereka mengejar cahaya yang gemerlapan dan tersebar di sejumlah tempat. Tapi akhirnya terbukti cahaya-cahaya itu hanyalah karena keinginan yang terlalu meluap-luap dan berlebihan.
Setelah menampilkan adegan yang menggambarkan perjalanan spiritual bolak-balik antara situasi jaman purba dengan dunia kontemporer, drama tari pun berkahir dengan kembalinya mereka ke masa lampau. Memori melambai-lambai memanggil."Memori sewaktu saya masih menjadi ikan, " tulis mereka dalam panduan. Gerakan yang ditampilkan menggambarkan emosi yang tenang dan ikan berenang berayun-ayun dalam satu sinar dan sedikit udara.
Kekuatan kelompok itu, menurut pengamat seni Wayan Dibia, adalah keberhasilan memadukan unsur-unsur tari kontemporer dengan unsur tradisional. Tarian kontemporer terlihat dari gerakan-gerakan yang cepat dan efisien, sedang nuansa tradisional tampak pada keluwesan serta gerakan ritmis yang kontemplatif. "Mereka berhasil memadukannya tanpa celah yang berarti," kata guru besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar itu.
Unsur tradisi, sebut Dibia, i bisa berarti tradisi Jepang seperti terlihat dalam langkah kaki yang pendek dan terbungkuk-bungkuk ala tarian Jepang. Sedang tradisi lokal terlihat dari gaya dua penari Yogyakarta yang terlibat dalam proyek itu. Keluwesan serta kelenturan mereka gampang mengingatkan pada tarian klasik Jawa.
Unsur-unsur itu terpadu dari latar belakang penarinya yang beragam. Para penari Jepang- Mao Arata, Shiho Uemoto, Tetsuro Koyano- memiliki latar belakang sebagai penari balet modern dan penari kontemporer. Adapun Yoshie Baba, selain menguasai tarian Jepang, juga pernah mendalami tari Bali dengan menjadi mahasiswa ISI Denpasar. Selain empat penari Jepang, kelompok ini merekrut dua penari dari Yogyakarta- Yuniawan Setyadi dan Suryo Purnomo- yang menguasai berbagai tarian jawa klasik .
Sebelum penampilan itu, mereka sudah melakukan workshop dimulai dengan penampilan secara individual untuk menafsir cerita dalam gerakan. Setelah itu barulah gerakan-gerakan dipadukan dalam satu koreografi. Mao Arata yang yang menjadi koregrafer berusaha tak menghilangkan ciri-ciri gerakan individual. Dalam pentas itu, setiap penari memang diberi kesempatan untuk menampilkan tarian solonya. "Kami yakin masyarakat Jepang pun bisa menikmati tarian ini," kata Yoshie.
No comments
PILIH PLATFORM KOMENTAR DENGAN MENG-KLIK