"Pelacur Suci" dalam Prostitutes of God


Mantan wartawan The Independent, Sarah Harris, membuat film dokumenter tentang para pelacur kuil di India, Devadasi, yang adalah gadis-gadis muda yang dipersembahkan sejak kecil kepada satu dewa Hindu, namun mereka menjalani profesi pekerja seks itu untuk menyokong kehidupan keluarga mereka.
Bagian pertama dari empat seri film dokumenter "Prostitutes of God" yang secara eksklusif disiarkan online itu, telah ditayangkan VBS.tv Senin lalu.
Harris mengungkapkan proses pembuatan film itu kepada The Independent Online:
"Pertama kali saya pergi ke India setelah saya keluar dari The Independent tiga tahun lalu. Saya ingin melarikan diri dan melakukan sesuatu yang benar-benar berbeda, makanya saya menjadi relawan pada sebuah yayasan amal di India selatan yang membantu korban-korban perdagangan seks.
Di hari pertama di sana, saya tersandung dalam sebuah pertemuan para pelacur Devadasi. Saya telah diberi tahu bahwa mereka ini adalah para pelacur kuil, tapi saat itu saya tak tahu apa artinya.
Saya mulai menelitinya dan pada Februari 2008 diundang ke Karnataka utara, yang adalah pusat kehidupan tradisional di India. Saya mewawancarai sejumlah wanita dan menulis sebuah artikel mengenai hal itu untuk majalah 'Vice.' Saya kerap menyambanginya dan saya ingin mendapat keterangan lebih mengenainya."
Manakala Anda mendekati seorang gadis Devadasi untuk wawancara, tanggapan mereka beragam.
Ada banyak sekali macam perempuan. Seorang perempuan germo di Mumbai akan sangat bangga membicarakan apa yang dia kerjakan. Namun pada masyarakat pedesaan yang miskin seperti Karnatakar, perempuan-perempuan pekerja seks lebih sulit diajak bicara. Para perempuan muda ini dikucilkan dan mereka diperas untuk apa yang mereka kerjakan. Mereka berharap bisa menikah, tapi mereka tidak bisa dan berada di penjara mengerikan.
Satu-satunya hal yang berubah sejak praktik Devadasi dinyatakan ilegal pada 1998, adalah seremoni mengenai hal itu yang diselenggarakan secara rahasia. Faktanya ini adalah kebiasaan yang umum dilakukan di sejumlah daerah di India.
Orang asing memang tidak akan tahu bahwa gadis-gadis itu adalah Devadasi, namun orang India tahu sekali siapa mereka dan apa yang mereka kerjakan. Praktik ini sungguh karena kasta.
Kasta adalah masalah yang masih demikian pelik di India.
Pemahaman saya mengenai hal ini adalah orisinil. Tradisi Davadasi pertama kali muncul dari para perempuan yang didedikasikan untuk praktik ini adalah berasal dari kasta tinggi, bahkan dari keluarga kerajaan.
Mereka menempati sebuah tempat paling spesial dalam kebudayaan India. Mereka ini adalah para penari yang luar biasa, pujangga, dan seniman.
Mereka memanggul peran relijius yang istimewa untuk dimainkan dalam kuil yang mengadakan berbagai ritus relijius suci. Mereka hampir seperti biarawati dan sama sekali tak ada kaitannya dengan seks. Mereka lebih berlaku sebagai para pendeta wanita.
Film dokumenter ini memperlihatkan betapa tradisi itu telah tergerus selama berabad-abad, khususnya pada abad 19 manakala para misionaris Kristen datang. Devadasi menjadi tidak lagi menjadi perhatian.
Saat ini tradisi itu malah lebih dikaitkan dengan kasta-kasta rendah India.
Gadis-gadis dari kasta Madiga yang dikenal sebagai kasta yang tak bisa disentuh, malah prospek hidupnya menjadi begitu terbatas.
Mereka ini kini menjadi buruh tani, penagih utang atau pelacur. Karena pelacuran itu sangat menguntungkan, banyak perempuan dari kasta Madiga bekerja sebagai pekerja seks.
Sejumlah gadis dipersembahkan kepada dewi-dewi Hindu di usia dua atau tiga tahun.
Mereka belum benar-benar masuk dalam pekerjaaan seks sampai mereka mencapai pubertasnya sekitar umur 12 tahun.
Gadis-gadis yang paling berisiko dipersembahkan untuk dewa akan tumbuh dalam masyarakat Davadasi yang matriarki.
Tak ada seorang pun pria diantara mereka. Mereka tidak memiliki ayah. Maka itu, mereka disebut-sebut bukan berasal dari keluarga normal karena mereka tidak memiliki ayah.
Gadis-gadis itu mungkin tidak pernah benar-benar mengerti profesi seksnya sampai mereka kenal dengan istilah "malam pertama."
Itulah saat di mana keperawanan mereka dijual ke pria setempat, biasanya pria yang menawar harga tertinggilah yang mendapatkan keperawanan mereka.
Pria-pria ini mungkin saja petani setempat, tuan tanah atau pengusaha. Beberapa dari gadis-gadis itu berkata, "Saya didedikasikan untuk dewa dewi, tapi saya tidak tahu ternyata inilah yang terjadi."
Ketika pertama kali ke India saya mengira perempuan-perempuan ini merasa diri terhormat menjadi seorang Devadasi, karena praktik ini dilakukan demi ketaatan kepada agama.
Seksualitas dan keilahian itu sangat erat bertemali dalam keyakinan Hindu. Agama itu begitu bersambungan dengan seksualitas dan kecantikan. Tapi saya pikir kini hanya tersisa sedikit pertalian di antara itu semua. Kebanyakan wanita yang kami ajak bicara bahkan sama sekali tidak menyebut praktiknya sebagai bukti ketaatan kepada agama. Mereka tak lebih menganggapnya bisnis belaka.
HIV sangat mewabah dalam komunitas itu. Penerjemah kami yang berhubungan sangat dekat dengan komunitas-komunitas itu, menggambarkan HIV tumbuh menjamur.
Segera setelah sang perempuan terinfeksi HIV, maka seluruh anggota keluarganya ikut tertular. Semua pria yang tidur dengannya segera tertular. Kemudian lelaki-lelaki hidung belang ini menularkannya ke istri-istri mereka.
Sangat sulit mencegah penyebaran penyakit berbahaya itu karena banyak yang tidak mengerti apa yang terjadi pada mereka.
Ada pengabaian yang luar biasa mengenai bahaya AIDS dan HIV pada masyarakat-masyarakat seperti itu. Selain itu ada stigma luas terhadap penggunaan kondom.
Orang-orang yang meninggal dunia karena penyakit yang berhubungan dengan HIV mereka sebuah "mati karena demam.”
Orang-orang yang tertular kerap tak terdiagnosis. Selain itu ada kesenjangan yang sangat lebar. Salah satu kota yang kami kunjungi memiliki satu LSM besar yang mengampanyekan hak-hak pekerja seks, mendistribusikan kondom dan menggelar pendidikan seks, sehingga para Devadasi memahami bahaya penyakit itu.
Sangat sulit bagi gadis-gadis itu meninggalkan profesinya. Anda melihat kelompok-kelompok beranggotakan mantan Devadasi berubah menjadi aktivis sosial berkampanye menentang tradisi tersebut. Itu salah satu jalan keluar.
Kelompok lainnya menjadi pendidik atau pekerja sosial. Ada kemajuan besar untuk mencoba dan menghentikan tradisi itu, dan ide itu datang dari kalangan arus bawah, yaitu para perempuan mantan Devadasi.
Hidup di kehidupan normal di India setelah menjadi pelacur Devadasi adalah amat sangat sulit karena mereka dianggap barang rusak.
Di India perkawinan adalah segalanya. Jika ada informasi bahwa seorang gadis melakukan hubungan seks sebelum menikah, maka si gadis akan dikucilkan dari masyarakat.
Di beberapa desa, perempuan dirajam sampai mati karena melanggar aturan susila itu. Jadi adalah sangat sulit bagi mereka untuk menata lagi hidupnya. (*)
Matilda Battersby dalam The Independent/Yudha Pratama/Jafar Sidik

No comments

PILIH PLATFORM KOMENTAR DENGAN MENG-KLIK

Powered by Blogger.