Cermin Dua Zaman




Cerpen Emil WE
Sayup-sayup lagu Indonesia Raya berkumandang tak jelas dari sebuah radio transistor tua milik tukang parkir di depan gedung, bergemerasak.  Merah-putih tertali layu di tiang pelataran, lesu. Sementara di dalam ruangan, sosok petugas berwajah ramah terus asyik membubuhkan stempel pos di pojok kanan-atas surat. Jetak! Jetak!  tangannya terayun kuat sambil terus menyungging senyum.
Pada sebuah bangku kayu berbentuk memanjang, sosok lelaki keriput kering tersenyum kepada kawan di sampingnya. Wajahnya teduh, kelopak matanya menyipit, namun sorot matanya menyisakan gelora di usia tuanya. Kedua lelaki itu sedang menunggu antrean uang pensiun di sebuah kantor pos kecil yang nampak ringkih di pojok perempatan ibukota kecamatan.
“Selamat, Cak.  Enampuluh empat tahun sudah,” kata lelaki keriput kering dengan tatapan hormat.
“Hehehe .. tak terasa memang ...  Alhamdulillah, Di. Sudah enampuluh empat tahun Tuhan memberikan bonus atas umur kita,” lelaki berpostur tinggi berbadan tipis menimpali lelaki keriput kering. Ia tersenyum lebar. Dari kembangan senyumnya, terlihat jikalau deretan giginya tak kuat lagi melawan waktu. Hanya tinggal satu yang tersisa, menyelip di gusi depan sebelah kiri bawah. Sendirian. 
“Rasa-rasanya minggu pertama di bulan nopember selalu saja menggugah, Cak. Menyeretku memasuki jam-jam menegangkan,” tatap mata  Veteran Kasdi menyapu lembut Veteran Wagino. Ia kemudian mengusap keriput di wajahnya menggunakan telapak tangan.  
“Apa yang masih kau ingat, Di?”
“Semuanya, Cak,” jawab Veteran Kasdi lembut
“Semuanya?!!”
“Ya. Semuanya. Gaya bertempur tentara Gurkha dan Sekutu, Kecongkakan Mansergh, saat kita dipaksa bertahan di sektor selatan .. ah,” lelaki keriput kering itu menggeleng pelan
“Rasa-rasanya masih teringat saat kau selamatkan aku dari bidikan tentara Inggris di depan stasiun Gubeng. Kalau tidak .. mungkin .. ,” bibir Veteran Kasdi bergetar. Wajahnya bermendung.
Kalimat Veteran Kasdi yang terhenti memaksa Veteran Wagino  membuka ingatannya. Ia menarik nafas dalam-dalam.
“Kadang-kadang di bulan nopember, aku teringat kejadian di Hotel Yamato, Cak. Rasa-rasanya darahku berdesiran kalau teringat kejadian itu. Allahu Akbar  ..” Veteran Kasdi lagi-lagi mengusap wajah menggunakan telapak tangannya. Ia terharu.
“Sekarang ini aku yakin kau pasti teringat Kadir dan Kohar ..” celetuk Veteran Wagino setelahnya.  Kata-katanya memantik kenangan Veteran Kasdi kepada kedua kakaknya.
“Iya, Cak. Pasti,” tatap mata Veteran Kasdi menunggu 
“Kedua kakakmu itu nadi lehernya sudah putus sejak lama .. tak punya rasa takut  .. bahkan jauh-jauh hari sebelum pecah perang Surabaya ..  saat batalyon kami memberontak di Blitar, puluhan Kempetai pecah kepalanya di bidik kedua kakakmu itu. Edan.  Walau akhirnya kami terdesak dan menyingkir ke timur, kejadian itu bisa dipastikan menampar muka tentara Jepang.”
“Setiba di desa Pasrujambe, di lereng Semeru sebelah selatan, sisa batalyon yang menyingkir bersama kami hanya tersisa 4 orang. Kami kemudian terus bergerak melingkari gunung Semeru menuju Gunung Lamongan, dari sana kami bergerak menuju Situbondo, disana kami bergabung dengan Kiai Sa’at. Kiai itu kemudian menyediakan tempat persembunyian yang sangat aman, sebuah terowongan bawah tanah di bawah masjid.”
“Allahu Akbar,” Veteran Kasdi menggeleng pelan. Ia terharu.
“Akhirnya setelah resolusi jihad keluar .. kami bersama rombongan kiai Sa’at bergerak menuju Surabaya, kami memilih bertempur di sektor utara dekat Jembatan Merah. Rupa-rupanya saat itulah Tuhan menghendaki Kohar syahid. Ia terkepung dan bertempur  sampai ajalnya tiba. Kalau teringat kejadian itu aku masih bersedih ..tapi sekaligus bangga telah mengenak Kakakmu ..  namun yang lebih mengharukan, kejadian itu malah memantik keberanian kami. Kiai Sa’at memerintahkan kami merangsek maju. Tentara Gurkha kami pukul mundur , sekutu pun kelimpungan terkencing-kencing .. akhirnya aku menyaksikan kejadian paling mengharukan ..  Kadir setetes pun tak menitikkan airmata menyaksikan Kohar limbung bersimbah darah di depannya .. Kakakmu itu malah tersenyum .. ya .. ia malah tersenyum sambil memeluk tubuh Kohar. Dia malah bilang kepada kami agar ikhlas dan jangan bersedih, syahid telah menjadi jalan hidup Kohar.”
“Cerita selanjutnya kau pasti tahu, Di,” lanjut Veteran Wagino mengakhiri. Tatapan sayunya menaut wajah Veteran Kasdi yang terkenang.
“Ya, Cak. Aku ingat. Saat mendengar kematian Cak Kohar, aku sedang bertempur di kawasan Sidotopo. Aku diberitahu Kapten Suadi masalah itu.”
“Ah, Kapten Suadi. Saat kau sebut namanya aku jadi ingat dia. Kau tahu dimana dia sekarang?”
“sempat aku menemuinya sebulan lalu, Cak”
“Di mana?” tanya Veteran Wagino cepat
“Di rumah sakit, Cak  .. umur tua dan sisa hidupnya menyedihkan.”
“Menyedihkan? maksudmu?”
“Kupikir mundurnya kesehatan Kapten Suadi tak lepas dari kasus yang menimpa anaknya.”
“Anaknya?!! bukankah anaknya cuma satu ? Rudi Bargowo maksudmu ?”
“Ya, Rudi Bargowo, Cak. Yang masuk dinas ketentaraan. Dia berpangkat Jenderal pertama sekarang ..”
“Lalu?” 
“Dia terkena kasus, Cak. Kabarnya korupsi milyaran rupiah.”
“Ya, Tuhan. Semoga itu tidak benar, Di. Kalau sampai benar, aku tak bisa membayangkan perasaan Kapten Suadi. Kasihan komandan baik itu. Dia pasti malu di depan Tuhan,” timpal Veteran Wagino bersedih.
“Semoga memang tak benar, Cak. Semoga semua salah. Tapi yang menyedihkanku, mengapa saat ini keadilan serasa makin suram di negeri kita, Cak. Makin abu-abu.”
“Maksudmu?”
“Bukankah semua serba tak jelas mana yang benar dan mana yang tidak, aku cuma menilai itu”
“Kemarin saja kulihat di televisi carut marutnya persoalan. Ada polisi bentrok dengan tentara, jaksa beradu mulut dengan pengacara, polisi ditelanjangi keboborokannya, komisi anti suap diindikasikan tersuap, kebenaran berputar-putar seperti gasing. Tak jelas. Tak tentu arah kapan berhentinya. Belum lagi, semua orang sudah berani pamer sumpah. Atas nama Tuhan, Cak !  semua bersumpah atas nama Tuhan ! bayangkan .. mencari siapa yang salah-siapa yang benar  sama saja seperti mencari semut hitam di atas batu hitam saat malam datang. Astaghfirullah, jaman apa ini.”
“Pepatahmu antik, Di. Hehehe .. uhuk ..uhuk  ..” celetuk Veteran Wagino sambil terbatuk
“Banyak-banyak berdoalah, Di. Semoga negeri kita diberkahi dan diampuni,” sambung Veteran Wagino sambil menatap Veteran Kasdi. Kedua lelaki itu berpandangan.
“Rasa-rasanya  .. saat-saat seperti ini kita merindukan sosok Pak Hatta sebagai negarawan cemerlang nan sederhana. Pemimpin yang tak lepas dari buku dan tikar sembahyangnya,” lanjut Veteran Wagino dengan suara bergetar.
“Ya, Cak .. mungkin benar .. tapi jaman harus terus tergelar, masa lalu tak mungkin kembali.”
“Aku tahu, Di. Aku tahu. Masa lalu tak mungkin kembali. Tapi setidaknya, bolehlah kita rindu kehadiran Jenderal Soedirman  dan Bung Tomo saat ini. Untuk sekedar mengenang, untuk sekedar membubuhkan candu di atas luka kita. Mereka itu milik rakyat, Di. Mereka dekat dan dicintai rakyat. Kenangan atas mereka terus bersemayam di dada kita. Sampai sekarang, kalau teringat suara Bung Tomo di radio, dadaku masih bergetaran, jiwa kita kembali terpanggil untuk berjihad di Surabaya.”
“Ya, Cak. Aku pun demikian. Mungkin benar nasehat Kapten Suadi ketika mendapatiku bergabung dengan laskar, kita-kita ini adalah tentara Alhamdulillah, jadi jangan mengharap sesuatu.”
“Tentara Alhamdulillah? maksudmu?”
“Kita berjuang tak membayangkan apa-apa dan tak mengharap apa-apa, Cak. Kalau rakyat memberikan kita air putih, kita berucap Alhamdulillah. Kalau rakyat membantu kita dengan sebungkus nasi, kita pun berucap Alhamdulillah. Saat itu dalam bayangan kita bukan uang pensiun, tapi bagaimana kita melihat bendera kita tak jatuh lagi ke tanah. Rasa-rasanya sampai sekarang mengenang peristiwa nopember membuat mataku berair, Cak. Kita punya pemimpin-pemimpin hebat. Apalagi kemudian terkenang Jenderal Besar yang naik turun gunung bergerilya ratusan kilometer saat agresi ke-dua, merekalah tentara-tentara alhamdulillah.”
“Adakah kini Jenderal yang seperti itu, Di? seperti Soedirman,” pertanyaan Veteran Wagino serasa tercekat.
“Jenderal sekarang banyak yang kaya, Cak. Milyaran kekayaannya. Bisa untuk membayar pensiun kita tujuh turunan.”
“Tidak semuanya, Di. Aku yakin tidak semuanya. Negeri kita tetap berdiri karena ada mereka yang jujur, percayalah, Ikhlaslah. Masih akan tumbuh jenderal-jenderal rakyat yang diteladani,”
“Amin, Cak. Amin,” sahut Veteran Kasdi lirih.
“Dulu, sesaat sebelum Sekutu membombardir Surabaya, aku dan Kadir sempat berbincang dengan Kiai Sa’at. Dia bilang, penjajah Belanda cepat atau lambat pasti akan terusir dari tanah kita. Tapi setelahnya, kita akan berperang melawan musuh dari kalangan kita sendiri, berperang melawan mereka yang bermental penghianat dan lebih senang menari di atas penderitaan bangsanya sendiri. Maling negara, pencoleng, penguasa lalim, atau juga pembuat kebijakan yang tak memihak rakyat,”  Veteran Wagino menghentikan kalimatnya. Ia mengambil nafas.
“Aku ingat saat itu Kiai Sa’at mengistilahkan maling Negara, mungkin yang dimaksudnya adalah Koruptor. Maling Negara, katanya, adalah kejahatan luar biasa. Efeknya berkepanjangan, dosanya pun berantai sepanjang efek kejahatannya tak lagi terasa. Korupsi sama saja mewakafkan kejahatan. Walau pelakunya mati, dosa itu akan tetap mengalir seandainya efek  korupsinya  terus-terusan menyisakan penderitaan bagi bangsanya.” 
“Astaghfirullahal Adzim ..” Veteran Kasdi tertegun. Ia menarik nafas dalam-dalam dan kemudian menghembuskannya perlahan.
“Belum juga giliran kita, Di?” tanya Veteran Wagino sambil melongok mencari tahu,
“Belum, Cak. Mungkin sebentar lagi. Biarlah .. kita memang datang terlambat. Setidaknya kita bisa berbincang-bincang sambil menunggu giliran.”
“Hehehehe … uhuk .. uhuk,” Veteran Wagino terkekeh dan terbatuk
“Apakah kau sibuk setelah ini?”
“Tidak, Cak. Cucu-cucuku sudah besar dan sibuk dengan kesenangannya sendiri, hehehee …” Veteran Kasdi terkekeh riang. Ia terlihat bahagia.
“Bagaimana kalau setelah ini kita ke Taman Makam Pahlawan? sudah lama aku tak mengunjungi kawan-kawan, terlebih Kadir dan Kiai Sa’at.”
“Baiklah, Cak. Sekalian kalau memungkinkan, kita kunjungi Kapten Suadi. Kukira lelaki itu kesepian,” 
“Baiklah .. kita kunjungi dia,” Veteran Wagino mengangguk.  Tatap matanya kembali menyapu Veteran Kasdi seraya penasaran.
“Berapa umurmu sekarang, Di?”
“Hehehehehe .. kita ini sudah seperti daun jati tua yang siap gugur, Cak. Tak pantas lagi bicara umur,” jawab Veteran Kasdi berdiplomatis.
“Tapi .. kali ini bolehlah kau tanya umurku. Indonesia telah merdeka enampuluh empat tahun lamanya, Cak. Tinggal kau tambahkan saja enampuluh empat dengan tujuhbelas tahun umurku saat bertempur di Surabaya.”
“Hehehehe … masih muda juga rupanya .. tentunya kalau dibanding aku," Veteran Wagino terkekeh. Dada tipisnya berguncangan.
“Ya, Cak. Masih muda, tapi dilihat dari jaman yang berbeda,”
“Hehehe … jaman memang berubah, Di. Kita sudah merdeka. Tapi setelah enampuluh empat tahun merdeka, kita seharusnya berani mempertanya, selama ini sebenarnya kita telah merdeka atas apa …  ”
kompas.com

No comments

PILIH PLATFORM KOMENTAR DENGAN MENG-KLIK

Powered by Blogger.